Kartu Pos

Pencil Patron
2 min readJul 1, 2016

--

Aku sudah jatuh hati terlalu dalam pada kartu pos yang datang silih berganti, diantar Pengantar Surat, Waktu aku menyadari, kita tidak bisa mendirikan sesosok manusia dari kata-kata dalam surat. Mau berapa miliar pun aksara yang berserakan, tidak akan pernah cukup untuk membangun manusia dihadapan kita.

Kata-kata boleh jadi tidak bakal pernah cukup, berapa kali pun diucapkan. Selalu akan ada yang tertinggal. Mengurangi makna asli, gagal menerjemahkan apa yang ada di hati.

Kartu pos yang kusimpan punya kisah-kisah. Tentang anak perempuan dan laki-laki.

Anak perempuan diajari trik perihal pengulangan. Jika sesuatu diulang berkali-kali, maknanya akan sirna. Coba saja :

“Aku mencintaimu.. Aku mencintaimu..”

“Aku rindu.. aku rindu..”

Lihat ? Tidak ada apa-apa. Mereka semua melebur entah kemana, menjadi remeh. Astaga, walah rupanya menghuni setiap ruang seperti udara, ia luput dari perhatian.

Aku suka mereka-reka lanjutannya di kepala, mungkin saking seringnya ungkapan si anak perempuan hadir, orang-orang berpikir hal itu tidak perlu diingat atau diberi makna karena sosoknya bakal selalu ada. Dipikirnya, akan selalu mengingatkan. Jadi buat apa repot-repot mengingat sesuatu yang bakal terus-terusan hadir, berdiri, mengisi ruang? Buang-buang ruang di pikiran saja.

Lalu, semua terlupa.

Anak lelaki ini bekerja di Kantor Pos, tulisan tangannya rapi dan bersih. Tulisannya tertoreh pada beragam kartu pos, perihal apa saja, ditulis dimana saja dan kapan saja. Menuju alamat yang sama. Selalu.

Cerita tentang ampas kopi di dasar cangkir, yang tertinggal seperti cinta yang belum tuntas. Keluh kesahnya karena pengguna jasa surat menyurat berkurang, semua lebih suka instan sekarang. Ia marah juga pada jarak, pada batas dalam penyamarannya sebagai bandara udara yang suka sekali menjemput hadir. Menggondolnya pergi lagi.

Dia yang masih menulis tentangmu, kepadamu ? Ia tidak tahu bagaimana cara untuk tidak menulis tentangmu dan kepadamu.

Aku sudah jatuh hati pada kartu pos-kartu pos itu. Sampai-sampai tangan tidak muat lagi untuk menyimpannya, sungguh. Aku sudah hafal dengan tata letaknya, dimana perangko dan bagaimana menulis alamat. Semua jelas.

Kecuali apa yang kutulis, perihal apa dan mau bagaimana. Di dalam kepala, cerita-cerita berseliweran, jelas dan pasti. Di atas kertas ini, entah mengapa kurasa kurang tepat menggambarkan kisah-kisah itu.

Ah, mungkin karena itu, orang-orang mementingkan aksi daripada sekedar suara dan cerita.

Tulisan ini pun, tidak mencakup cerita di dalam kepalaku dengan tepat.

Soal gadis yang kebingungan. Yang merasakan sakit sampai tidak tahu harus apa. Setiap pagi ia bangkit, melakukan semua tugas semampunya, lalu berakhir kembali dalam kebingungan di pintu. Sakitnya sampai ia tak bisa bernafas lega. Ia rindu pada masa kepalanya tidak dipenuhi pikiran-pikiran ini.

Ia mengambil kartu pos, satu saja.

Lalu menulis rahasianya dengan singkat disana.

--

--

Pencil Patron

reader and learner who writes short stories|| find me on IG : @patronpen