Kosakataku Yang Salah-Salah

Pencil Patron
3 min readJun 4, 2021
Shandy Millar on Unsplash

Aku tidak tahu, apakah kata-kataku menjadi jelek karena aku tidak punya kosakata hebat yang menggelegar, mendayu-dayu manis nan puitis

Atau karena kita bicara dalam bahasa yang berbeda.

Aku menjelaskan kasih sebagai bulan dan bintang yang berpendar, sedangkan kau jelaskan kasih seperti kardigan tak bernama yang disimpan di bawah ranjang tua.

Setiap cerita yang kubaca, mengutarakan perasaan dan kegundahan.

Menjadikannya cermin, tempat kita berkaca lalu terenyuh karena pada akhirnya ada yang membantu terjemahkan kebingungan kita.

Cerita-cerita yang membebaskan pikiran.

Aku diberikan cerita-cerita yang indah, setiap kisah memberi nama-nama baru untuk luka-luka yang kupunya. Bahkan yang tidak kupunya.

Dari kecil, aku tumbuh di rumah dengan ladang bunga. Kau tumbuh dalam rumah sakit yang menambal sulam luka-luka.

Photo by Marcelo Leal on Unsplash

Kosakataku untuk pedih, itu-itu saja. Sebatas bunga gelap, dedaunan kering.

Kau punya segala detil perihal darah dan kematian. Aku bahagia, dan kau selalu sedih. Dalam bahagiaku, kadang aku bersalah karena tidak tahu sedih seperti apa yang kau bawa sejak lahir.

Dan kau, setengah mati berupaya bahagia karena penasaran dengan aroma bunga di rumah kala musim semi.

Ketidakmampuanku berbahasa membuatku tersesat, walau ini sebenarnya ahli membuat peta. Aku membaca arah dengan jitu, tidak perlu bantuan sinar matahari atau rasi bintang. Sebaik aku mampu membaca wajahmu.

Ketidakmampuanmu berbahasa, membuatmu bahagia dalam ketidaktahuan, yang akhirnya membuat kita sama-sama tercekik.

Sampai sekarang, aku masih heran, apakah suara kita ini tumpang-tindih atau kata-kata kita tidak pernah bertemu?

Tapi, kita ini tidak pernah berteriak. Mungkin karena sama-sama tahu, kata-kata kita akan lebih menghujam.

Pada akhirnya, kita tidak pernah tahu siapa dan apa kita yang sebenarnya dan tidak ada lagi yang bisa ditulis.

Photo by Jaredd Craig on Unsplash

Di hari lain, ketika kita sudah sama-sama lupa.

Aku bertemu guru bahasa yang mengajariku mencintai bahasa yang pernah kau utarakan padaku. Dia mencintaiku lebih baik, lebih jelas, tanpa jeda atau tersedak.

Lalu, aku mengetahui bahwa dulu

Ketika kubilang cinta sebagai bulan dan bintang berpendar,

Kau anggap cinta sebagai seperti kardigan tua yang disimpan di bawah ranjang, tak bernama. Karena nama tidak lagi penting selama kita ada di bawah pendar langit yang sama.

Bahwa, kau tahu suka perihal bunga gelap dan dedaunan kering dariku yang dengan mudah menghapus detil kematian dan darah.

Setelah kita pergi, aku baru tahu bahwa bahasamu yang putus-putus itu, kulengkapi dengan suaraku yang jatuh terlalu cepat.

Dan kau mendengarkan.

--

--

Pencil Patron

reader and learner who writes short stories|| find me on IG : @patronpen